Translate

Rabu, 11 Mei 2016

Melampaui Sosialisme dengan Islam

Sejak paham sosialisme dan komunisme yang dibawa oleh Sneevliet merebak di Indonesia pada kisaran tahun 1921, beberapa tokoh pergerakan nasional termasuk beberapa anggota Sarekat Islam menganut sosialis-komunis. Dengan terpaksa organisasi Sarekat Islam yang merupakan organisasi terbesar bagi masyarakat muslim Hindia Belanda, yang saat itu diketuai oleh H.O.S Tjokroaminoto pun terbelah menjadi SI merah dan SI putih.
Maka dalam karyanya yang berjudul "Islam dan Sosialisme" Tjokroaminoto menegaskan bahwa Islam merupakan ajaran yang memuat makna sosialisme yang sempurna, seperti yang dicontohkan Rasul, tanpa sedikitpun mengenyampingkan aspek penghambaan kepada Allah SWT. Seperti yang dikutip dalam salah satu bab yang bertajuk "Sosialisme Nabi Muhammad". Kurang lebih memaparkan pemahaman beliau tentang sosialisme yang sesungguhnya tercermin dalam sikap Nabi Muhammmad kepada ummatnya :

"Bermula ketika Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW yaitu supaya manusia mengakui Tuhan yang satu yaitu Allah, dan supaya semua manusia itu bersatu menjadi satu kesatuan. Maka nyatalah bahwa Nabi Muhammad menghendaki persaudaraan diantara manusia. seperti yang dikatakan Nabi Muhammad kepada orang yang memusuhinya di Mekkah, pada waktu mereka sudah dikalahkan olehnya, yaitu sebagai berikut :
" Saya hendak bicara kepada kalian seperti Yusuf a.s. berbicara kepada saudara-saudaranya: saya tidak akan marah kepada kamu hari ini. Tuhan akan memberi ampun kepadamu, karena sifat maha pengasih dan pemurahnya, maka pergilah kamu dengan bebas.
Perkataan Nabi Muhammad yang demikian itu menunjukkan cita cita persaudaraan bersama dan cita-cita kemerdekaaan."
Dalam buku karyanya tersebut ia melanjutkan, "Nabi Muhammad telah mengubah sistem kehidupan masyarakat yang belum pernah dikenal suatu bangsa pun di dunia, dengan aturan-aturan yang begitu demokratisnya, bahkan Nabi Muhammad juga tidak mebedakan derajat dirinya dengan ummatnya sendiri, yang tercermin pada sabdanya :
 " Innama basyarum mitslukum ( sesungguhnya aku hanya manusia belaka seperti halnya kamu)."
Nabi Muhammad tidak pernah menyuruh ummatnya untuk menjunjung dirinya secara berlebihan , ia selalu berkata dengan maksud menunjukkan penghambaan dan kerendahan seorang manusia kepada Allah.
Terlebih lagi sikap Nabi Muhammad dalam persaudaraan dan persahabatan dengan semua orang , pengikutnya dan para sahabatnya yang dapat disebut batu dasar sosialisme yang sejati. Semua itu merupakan contoh-contoh dan teladan yang nyata bagi kelakuan dan kebiasaan ummat nabi di tanah Arab dan bagi seluruh ummat Islam di dunia, dari sejak itu hingga sekarang ini."
Dapat kita lihat, bahwa gejolak perseteruan paham Islam dan komunisme yang dihadapi para tokoh bangsa cukup menarik perhatian. Khususnya pada saat itu, telah timbul kesadaran masyarakat untuk merdeka dari penjajahan. Beberapa pendapat dan juga ideologi berkembang menjadi cita-cita masyarakat. Terutama masyarakat muslim terbesar di dunia adalah di nusantara ini, namun setelah komunisme menyebar, masyarakat komunis di nusantara ini juga ke-tiga terbesar di dunia. Hal ini tentu menjadi cikal bakal perseteruan besar yang diawali dari pertikaian tokoh SI.
Oleh karena itu boleh saja kita membahas, apa yang dihadapi H.O.S. Tjokroaminoto pada masa silam. Antara Islam dan sosialisme, terdapat beberapa persamaan tapi terdapat pula beberapa perbedaan penting. Jika kita bandingkan sosialisme dan juga komunisme yang dikatakan menjujung tinggi kesetaraan (egalitarianisme), dan persamaan hak antar sesama manusia. Islam justru lebih dahulu menerapkannya, pada awal pembentukan wilayah kepemimpinan Rasulullah di Madinah, terdapat masyarakat madani dengan diterapkannya hukum Islam dengan adil, hal itu berlangsung hingga kepemimpinan para sahabat Nabi (khulafa Arrasyidin), bahkan digambarkan dalam sejarah masyarakat sejahtera dan pemimpin yang adil lagi berperilaku kehidupan yang sederhana dan taat pada aturan Tuhannya. Namun nilai-nilai tersebut terkikiskan oleh kepemimpinan Islam setelahnya yang menerapkan sistem dinasti atau kerajaan. Diawali oleh Dinasti Umayyah, dan juga dilanjut dengan beberapa dinasti setelahnya, yang terbesar seperti Abbasiyyah, Fathimiyyah, dan Usmani Kepemimpinan justru digulirkan secara sepihak oleh petahana, tanpa adanya keharusan musyawarah majelis ulama yang menjadi penentu masa depan ummat. Dengan begitu, kepemimpinan banyak diwarnai nepotisme sehingga terjadi stratifikasi, keningratan, dan juga mobilitas sosial masyarakat menjadi kaku, ini juga berakibat pada penerapan hukum yang tidak adil pada banyak peristiwa. Beberapa gelombang protes pun dilakukan masyarakat khususnya para ulama yang masih berpegang teguh dengan ajaran murni, namun kebanyakan dari orang-orang tersebut malah dihukum dan diasingkan.
Meskipun dalam perjalanannya tidak semua khalifah/pemimpin seperti itu, beberapa diantaranya ada yang mampu bersikap adil sebagai pemimpin dan berdedikasi untuk kemaslahatan ummat, seperti Umar bin Abd Aziz, Harun Al Rasyid, Shalahuddin Al Ayyubi, Muhammad AlFatih, dan beberapa lagi.
Masa berlangsungnya kerajaan atau dinasti tersebut lebih lama daripada masa khilafah yang dicontohkan Rasulullah seperti seharusnya. Juga penurunan pada penerapan supremasi hukum yang terus menerus menjauhi syariat,
menciptakan kondisi yang menjadi celah berbagai suksesi pergantian kepemimpinan melalui penaklukan dan juga kudeta. Tak jarang perang antar saudara muslim pun tak terelakkan di banyak wilayah kepemimpinan Islam.
Setelah sekian ratus tahun kepemimpinan dinasti berlangsung, akhirnya mencapai puncak kehancuran tahun 1924 di Turki. Kondisi kosongnya kepemimpinan ummat Muslim di dunia, membawa arus besar dimana masyarakat muslim sudah mulai melirik paham dan sistem dari peradaban barat, salah satunya sosialisme yang dinilai dapat mengembalikan hak-hak masyarakat, juga menerapkan kesetaraan antar sesama. Padahal jika kita teliti lebih jauh, sosialisme yang juga diakhiri dengan penerapan komunisme dan berbagai coraknya di berbagai belahan dunia menemui kekurangan-kekurangannya. Maka di penghujung tahun 1990-an, negara-negara sosialis-komunis berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa, sosialisme bukanlah solusi untuk menjamin keadilan bagi masyarakat, terutama adalah dengan sifat kodrati manusia yang tidak bisa disetarakan satu dengan yang lain, sedangkan usaha atau etos kerja manusia satu dengan yang lain tentu berbeda-beda maka manusia tidak bisa disamakan begitu saja. Coba bandingkan dengan masyarakat di bawah kepemimpinan Islam, masyarakat memang tidak dibedakan menurut miskin dan kaya, hitam atau putih kulitnya, atau berdasarkan suku bangsa, akan tetapi Islam menjamin hak milik setiap masyarakat, bahkan orang di luar Islam sekalipun. Terlebih lagi mengapa Tjokroaminoto dalam sikapnya cenderung menyebut persamaan Islam dengan sosialisme, justru karena Islam memberikan hak dan juga kesetaraan tepat pada porsinya. Juga penerapan Islam pada masyarakat tujuannya bukan hanya untuk kebaikan dan kepentingan masyarakat saja, tapi juga merupakan penerapan yang menjadi nilai amal bakti kepada Allah Tuhan Pencipta Manusia itu sendiri.


"Tjokroaminoto; Islam dan Sosialisme"