Dalam
setiap dinamika waktu terdapat pula dinamika kehidupan yang di dalamnya
terdapat kita sebagai subjek atau objek dari setiap pergerakan waktu. Waktu
merupakan hal yang melekat dalam kehidupan setiap manusia, Di mana banyak
pepatah atau perkataan orang bijak menegaskan tentang waktu. Jika kita
simpulkan dari semua itu, maka kitalah yang harus berusaha menjadi subjek, dan
jangan sampai kita menjadi objek daripada waktu. Segala apa yang kita dapatkan
dalam kehidupan kita dari masa ke masa merupakan cerminan dari segala apa yang
kita lakukan, yang kita perankan dalam perjalanan kehidupan kita.
Tahukah
kita , sejarah telah bercerita bahwa hanya orang yang selalu berusaha menjadi
subjeklah yang berhak hidup dalam setiap masanya ? tak memandang apakah ia
subjek yang disenangi atau ditakuti, jahat atau baik, disukai atau dibenci.
Sebaliknya, Orang yang hanya menjadi objek dalam perjalanan hidupnya bisa kita
katakan sebagai orang mati. Maksudnya , jika kita semua meyakini dan berusaha
membuktikan diri kita sebagai manusia yang berpotensi dan berhak memilki
kekuasaan maka kita sudah memenuhi syarat untuk menerima status sebagai manusia
yang hidup dalam arti sebenarnya. Sebaliknya, seseorang bisa dinamakan orang
mati jika ia tidak meyakini serta mematikan setiap potensi dirinya dengan segudang
alasan, sehingga pada akhirnya orang seperti inilah yang tidak punya otoritas,
tidak punya kekuasaan apapun, termasuk dirinya sendiri pun dikuasai orang lain.
Begitu pun nasib bangsa ini yang telah mematikan segala potensinya , akibatnya
bangsa ini berhasil dieksploitasi dan dikuasai bangsa lain meski denagan
prosedur yang terselubung. Jika negeri ini hampir mati, maka dapat dipastikan
negeri ini disinggahi orang-orang yang yang hampir mati pula.
Oleh
karena itu, sudah seharusnya kita tidak mematikan diri kita, karena hal itu
sama saja dengan tidak mensyukuri apa yang kita miliki. Coba kita yakini bahwa
kita memiliki potensi yang luar biasa untuk meraih apa yang kita inginkan
sekalipun potensi itu belum terlihat keberadaannya. Namun kita terus berusaha
menggali sembari meyakini keberadaan potensi tersebut, kemungkinan besar kita
menemukannya atau setidaknya kita telah berhasil meningkatkan kemampuan-kemampuan
lain yang tadinya sangat minim. Apabila kita memanfaatkan sekecil apapun yang
kita miliki, maka apa yang kita miliki itu bisa berubah menjadi manfaat yang
sangat besar. Jangan sampai kita menjadi orang mati , jika nasib bangsa kita
hari ini hampir mati , maka kita lah sebagai orang yang hidup yang akan
membangunkanya.
Kali ini mari kita bicara tentang nasib bangsa
ini, kian hari kian terpuruk. Jika tadi kita bicara masih dalam lingkup
individu maka kita tahu bahwa satu individu merupakan anggota kelompok
masyarakat . Suatu masyarakat terdiri dari individu-individu, setiap individu
berkembang menurut kebudayaan turun-temurun atau tradisi. Bukan baru-baru ini
kita bicara tentang para pemimpin tetapi sudah sekian lama bangsa ini
membicarakannya sembari mencari solusinya. Kalau kita bicara tentang para
pemimpin erat kaitannya dengan ulah mereka yang membudaya yaitu korupsi.
Sejatinya
korupsi sudah dikenal dan diamalkan oleh para petinggi sejak zaman dahulu kala,
sebut saja penjarah pertama sumber daya bangsa ini, VOC ( Vereegnide Oost
Indische Compagnie) . VOC mengakhiri hayatnya disebabkan korupsi yang menjamur
di dalamnya, akhirnya mereka bangkrut dan mengakhiri hayatnya. Tak lama
kemudian datanglah pemerintahan Hindia Belanda , rupanya tak beda jauh nasibnya
. Sarang koruptor ternyata masih tertinggal dan akut menjelma menjadi sebuah
budaya yang hadir menyerang jiwa petinggi bangsa ini, hingga kini tiada
terganti. Basuhan upaya tetap saja tak berhasil, dari zaman H.W. Daendels
sampai zaman SBY.
Melihat
dinamika korupsi, dari zaman orde lama, orde baru ,sampai reformasi. Orde lama
berhak mendapat pujian , selain dari nasib pertama merdekanya bangsa ini dari
tangan penjajah, juga ternyata korupsi di zaman orde lama tidak separah orde
berikutnya yakni orde baru. Orde baru terlalu cerdik menutup aibnya, selama
tiga puluhan tahun lamanya ia berhasil tampil sempurna di hadapan publik.
Dengan membredel media, pers dibungkam, para reformis ditangkap kian akut budaya korupsi yang diderita di
ranah pemerintah masa itu. Bukan berarti habis gelap timbul terang masa Orde
Baru berakhir, ternyata reformasi bisa lebih gila kasus korupsinya. Para
reformis bisa mengaku anti korupsi sebelum duduk dalam ranah pemerintahan,
tetapi apa yang terjadi setelah mereka duduk di ranah pemerintahan, mereka sama
saja menjilat lidah sendiri.
Hari
ini kita sangat dibuat bingung oleh berbagai peristiwa, kita bingung akan
mengandalkan siapa untuk hari esok. Setiap pihak, partai, kaum, suku, agama,dan
kita, mungkin punya cara masing-masing untuk mengobati luka ibu pertiwi. Entah
ada setan apa selalu mengganggu niat baik kita untuk memperbaiki nasib ibu
pertiwi yang telah terluka parah. Penyakit akut apa kiranya yang telah tega
merusak organ-organ penggerak kemajuan bangsa ini. Kiranya akan ke dokter
spesialis apa kita harus membawanya berobat, harus rawat jalan atau mungkin dioperasi?.
Sekali lagi Kita harus mengandalkan siapa untuk esok hari?. Jawabannnya ada
pada diri kita.Kita generasi penerus harus punya terobosan inspiratif dan inovatif
atau sebagai individu-individu yang mengaku masih hidup sebagai subjek bukan
objek, memainkan bukan dipermainkan.
Kuncinya,
semua kembali pada diri kita. Bangsa kita adalah diri kita. Jika kita hanya mampu
berkomentar tentang ini dan tentang itu tanpa tindakan pembuktian akan solusi
yang kita tawarkan. Maka sampai kapan kita menunggu sang ratu adil datang
mengubah nasib bangsa ini. Semua itu pun tak lepas dari status yang kita
sandang hari ini.
Jika
hari ini kita seorang ibu rumah tangga, perankanlah seorang ibu rumah tangga
yang bijak mendidik anak dengan sebaik-baiknya agar menjadi jujur, dapat
dipercaya, bijak,intektual , bertanggung jawab dan sadar untuk menjadi warga
bangsa Indonesia yang revolusioner. Jika kita hari ini adalah pemimpin, maka sadarkanlah
diri kita selalu agar meneladani sosok pemimpin yang bijak dan tidak rakus ,
bukan meneladani sosok pemimpin yang nikmat hidupnya dengan menghisap kekayaan
yang bukan haknya. Jika hari ini kita mengaku sebagai kaum agamawan atau ulama,
maka kita harus sadar untuk setia dalam mendidik masyarakat agar kuat iman dan
takwanya tanpa memisahkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika hari
ini kita berperan sebagai orang yang sudah lanjut usia, jangan menyimpulkan
diri kita tidak bisa atau tidak berhak memainkan peran dalam merevolusi nasib
bangsa ini. Setidaknya kita dapat menuliskan wasiat untuk anak cucu kita agar
selalu istiqomah memegang nilai-nilai yang baik dan menjaga terus cita-cita
bangsa untuk mengobati luka ibu pertiwi. Apalagi jika hari ini kita menyandang
status sebagai pemuda khususnya mahasiswa yang mengaku dirinya sebagai kaum
intelektual, sudah waktunya kita menjadi agent of change yang
revolusioner mengubah nasib bangsa ini, membuktikan kesegaran jiwa mudanya
dengan ilmu yang telah didapatkannya. Hari ini kiranya bukan waktunya para
pemuda bersilat lidah, berdebat yang memunculkan permusuhan, tawuran karena
membesar-besarkan masalah kecil, atau meneriakkan keinginan-keinginan dengan
demonstrasi anarkis. Dengan begitu, mudah-mudahan usaha kita sekecil apapun itu
tetap bermanfaat untuk perbaikan nasib bangsa ini.
Perlu
kita ingat, setiap peran punya tanggung jawab. Maka peran kita hari ini adalah
cara kita memanfaatkannya, karena setiap diri kita punya potensi dalam
memerankannya. Korupsi yang menjamur di ranah pemerintahan negeri tercinta
adalah tanggung jawab kita, mulai detik ini kita harus hidup menjadi subjek
yang mempelopori semua perubahan, kemajuan dan kehidupan. Mau tidak mau, dan
tak perlu malu , kita harus mengaku hanya kita yang bisa diandalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar