Translate

Sabtu, 26 Maret 2016

Peran Kita dan Hidup Bangsa


Dalam setiap dinamika waktu terdapat pula dinamika kehidupan yang di dalamnya terdapat kita sebagai subjek atau objek dari setiap pergerakan waktu. Waktu merupakan hal yang melekat dalam kehidupan setiap manusia, Di mana banyak pepatah atau perkataan orang bijak menegaskan tentang waktu. Jika kita simpulkan dari semua itu, maka kitalah yang harus berusaha menjadi subjek, dan jangan sampai kita menjadi objek daripada waktu. Segala apa yang kita dapatkan dalam kehidupan kita dari masa ke masa merupakan cerminan dari segala apa yang kita lakukan, yang kita perankan dalam perjalanan kehidupan kita.
Tahukah kita , sejarah telah bercerita bahwa hanya orang yang selalu berusaha menjadi subjeklah yang berhak hidup dalam setiap masanya ? tak memandang apakah ia subjek yang disenangi atau ditakuti, jahat atau baik, disukai atau dibenci. Sebaliknya, Orang yang hanya menjadi objek dalam perjalanan hidupnya bisa kita katakan sebagai orang mati. Maksudnya , jika kita semua meyakini dan berusaha membuktikan diri kita sebagai manusia yang berpotensi dan berhak memilki kekuasaan maka kita sudah memenuhi syarat untuk menerima status sebagai manusia yang hidup dalam arti sebenarnya. Sebaliknya, seseorang bisa dinamakan orang mati jika ia tidak meyakini serta mematikan setiap potensi dirinya dengan segudang alasan, sehingga pada akhirnya orang seperti inilah yang tidak punya otoritas, tidak punya kekuasaan apapun, termasuk dirinya sendiri pun dikuasai orang lain. Begitu pun nasib bangsa ini yang telah mematikan segala potensinya , akibatnya bangsa ini berhasil dieksploitasi dan dikuasai bangsa lain meski denagan prosedur yang terselubung. Jika negeri ini hampir mati, maka dapat dipastikan negeri ini disinggahi orang-orang yang yang hampir mati pula.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita tidak mematikan diri kita, karena hal itu sama saja dengan tidak mensyukuri apa yang kita miliki. Coba kita yakini bahwa kita memiliki potensi yang luar biasa untuk meraih apa yang kita inginkan sekalipun potensi itu belum terlihat keberadaannya. Namun kita terus berusaha menggali sembari meyakini keberadaan potensi tersebut, kemungkinan besar kita menemukannya atau setidaknya kita telah berhasil meningkatkan kemampuan-kemampuan lain yang tadinya sangat minim. Apabila kita memanfaatkan sekecil apapun yang kita miliki, maka apa yang kita miliki itu bisa berubah menjadi manfaat yang sangat besar. Jangan sampai kita menjadi orang mati , jika nasib bangsa kita hari ini hampir mati , maka kita lah sebagai orang yang hidup yang akan membangunkanya.
 Kali ini mari kita bicara tentang nasib bangsa ini, kian hari kian terpuruk. Jika tadi kita bicara masih dalam lingkup individu maka kita tahu bahwa satu individu merupakan anggota kelompok masyarakat . Suatu masyarakat terdiri dari individu-individu, setiap individu berkembang menurut kebudayaan turun-temurun atau tradisi. Bukan baru-baru ini kita bicara tentang para pemimpin tetapi sudah sekian lama bangsa ini membicarakannya sembari mencari solusinya. Kalau kita bicara tentang para pemimpin erat kaitannya dengan ulah mereka yang membudaya yaitu korupsi.
Sejatinya korupsi sudah dikenal dan diamalkan oleh para petinggi sejak zaman dahulu kala, sebut saja penjarah pertama sumber daya bangsa ini, VOC ( Vereegnide Oost Indische Compagnie) . VOC mengakhiri hayatnya disebabkan korupsi yang menjamur di dalamnya, akhirnya mereka bangkrut dan mengakhiri hayatnya. Tak lama kemudian datanglah pemerintahan Hindia Belanda , rupanya tak beda jauh nasibnya . Sarang koruptor ternyata masih tertinggal dan akut menjelma menjadi sebuah budaya yang hadir menyerang jiwa petinggi bangsa ini, hingga kini tiada terganti. Basuhan upaya tetap saja tak berhasil, dari zaman H.W. Daendels sampai zaman SBY.
Melihat dinamika korupsi, dari zaman orde lama, orde baru ,sampai reformasi. Orde lama berhak mendapat pujian , selain dari nasib pertama merdekanya bangsa ini dari tangan penjajah, juga ternyata korupsi di zaman orde lama tidak separah orde berikutnya yakni orde baru. Orde baru terlalu cerdik menutup aibnya, selama tiga puluhan tahun lamanya ia berhasil tampil sempurna di hadapan publik. Dengan membredel media, pers dibungkam, para reformis ditangkap  kian akut budaya korupsi yang diderita di ranah pemerintah masa itu. Bukan berarti habis gelap timbul terang masa Orde Baru berakhir, ternyata reformasi bisa lebih gila kasus korupsinya. Para reformis bisa mengaku anti korupsi sebelum duduk dalam ranah pemerintahan, tetapi apa yang terjadi setelah mereka duduk di ranah pemerintahan, mereka sama saja menjilat lidah sendiri.
Hari ini kita sangat dibuat bingung oleh berbagai peristiwa, kita bingung akan mengandalkan siapa untuk hari esok. Setiap pihak, partai, kaum, suku, agama,dan kita, mungkin punya cara masing-masing untuk mengobati luka ibu pertiwi. Entah ada setan apa selalu mengganggu niat baik kita untuk memperbaiki nasib ibu pertiwi yang telah terluka parah. Penyakit akut apa kiranya yang telah tega merusak organ-organ penggerak kemajuan bangsa ini. Kiranya akan ke dokter spesialis apa kita harus membawanya berobat, harus rawat jalan atau mungkin dioperasi?. Sekali lagi Kita harus mengandalkan siapa untuk esok hari?. Jawabannnya ada pada diri kita.Kita generasi penerus harus punya terobosan inspiratif dan inovatif atau sebagai individu-individu yang mengaku masih hidup sebagai subjek bukan objek, memainkan bukan dipermainkan.
Kuncinya, semua kembali pada diri kita. Bangsa kita adalah diri kita. Jika kita hanya mampu berkomentar tentang ini dan tentang itu tanpa tindakan pembuktian akan solusi yang kita tawarkan. Maka sampai kapan kita menunggu sang ratu adil datang mengubah nasib bangsa ini. Semua itu pun tak lepas dari status yang kita sandang hari ini.
Jika hari ini kita seorang ibu rumah tangga, perankanlah seorang ibu rumah tangga yang bijak mendidik anak dengan sebaik-baiknya agar menjadi jujur, dapat dipercaya, bijak,intektual , bertanggung jawab dan sadar untuk menjadi warga bangsa Indonesia yang revolusioner. Jika kita hari ini adalah pemimpin, maka sadarkanlah diri kita selalu agar meneladani sosok pemimpin yang bijak dan tidak rakus , bukan meneladani sosok pemimpin yang nikmat hidupnya dengan menghisap kekayaan yang bukan haknya. Jika hari ini kita mengaku sebagai kaum agamawan atau ulama, maka kita harus sadar untuk setia dalam mendidik masyarakat agar kuat iman dan takwanya tanpa memisahkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika hari ini kita berperan sebagai orang yang sudah lanjut usia, jangan menyimpulkan diri kita tidak bisa atau tidak berhak memainkan peran dalam merevolusi nasib bangsa ini. Setidaknya kita dapat menuliskan wasiat untuk anak cucu kita agar selalu istiqomah memegang nilai-nilai yang baik dan menjaga terus cita-cita bangsa untuk mengobati luka ibu pertiwi. Apalagi jika hari ini kita menyandang status sebagai pemuda khususnya mahasiswa yang mengaku dirinya sebagai kaum intelektual, sudah waktunya kita menjadi agent of change yang revolusioner mengubah nasib bangsa ini, membuktikan kesegaran jiwa mudanya dengan ilmu yang telah didapatkannya. Hari ini kiranya bukan waktunya para pemuda bersilat lidah, berdebat yang memunculkan permusuhan, tawuran karena membesar-besarkan masalah kecil, atau meneriakkan keinginan-keinginan dengan demonstrasi anarkis. Dengan begitu, mudah-mudahan usaha kita sekecil apapun itu tetap bermanfaat untuk perbaikan nasib bangsa ini.
Perlu kita ingat, setiap peran punya tanggung jawab. Maka peran kita hari ini adalah cara kita memanfaatkannya, karena setiap diri kita punya potensi dalam memerankannya. Korupsi yang menjamur di ranah pemerintahan negeri tercinta adalah tanggung jawab kita, mulai detik ini kita harus hidup menjadi subjek yang mempelopori semua perubahan, kemajuan dan kehidupan. Mau tidak mau, dan tak perlu malu , kita harus mengaku hanya kita yang bisa diandalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar